johorejo.desa.id. (Senin, 8/3/2021).
Beberapa pekan terakhir, diskusi tentang nasib aparatur desa (Kades dan Perangkat Desa) di Kabupaten Kendal cukup menghangat. Apa saja diskusi tersebut?
Yang pertama persoalan penghasilan tetap (Siltap) yang tidak kunjung dibayarkan selama 3 (tiga) bulan pada tahun 2021. Hal ini tentunya sungguh ironis karena menyangkut dapur aparatur desa, ditengah tuntutan penanganan Pandemi COVID-19, mulai dari penyaluran BLT, BST, aktivitas Jogo Tonggo, terakhir PPKM Mikro ternyata dapur mereka terancam tidak mengebul.
Persoalan Siltap yang terlambat sebenarnya bukan kali pertama, dahulu oleh Pemkab Kendal dikatakan karena keterlambatan pengesahan APBDesa, sehingga mempengaruhi penyaluran ADD tetapi kenyataannya sudah 2 (dua) tahun penetapan APBDesa tepat waktu, Siltap aparatur desa tetap terlambat.
Kedua, persoalan BPJS Kesehatan aparatur Desa se Kabupaten Kendal yang non aktif, karena belum dibayar preminya oleh Pemkab. Ini fenomena unik, jika sebelum-sebelumnya sifatnya parsial, desa-desa tertentu saja, khususnya yang terlambat membayar premi, sekarang justru se Kendal.
Perubahan mekanisme pembayaran premi oleh Desa yang di take over Pemkab awalnya memberi angin segar, karena (kemungkinan) keterlambatan pembayaran premi oleh Desa akibat faktor X bisa diatasi, tetapi jika tetap terlambat dan semua kartu BPJS Kesehatan aparatur desa non aktif ya sama saja.
Ketiga soal vaksinasi COVID-19 bagi aparatur desa. Aparatur desa yang (konon) bestatus pelayanan publik ternyata belum diprioritaskan untuk divaksinasi di tahap awal, bahkan muncul cerita menarik ada salah satu puskesmas yang justru memvaksin pengurus organisasi kepemudaan.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, sedemikian ngenes kah nasib aparatur desa? Tidak adakah komunikasi, lobby dan penyamaan persepsi dengan pemangku kepentingan? Di mana posisi paguyuban Kades dan Perangkat Desa serta Forsekdesi? Mengapa diam saja.
Persoalan Siltap sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari ketentuan bahwa Siltap Kades dan Perangkat Desa adalah bagian dari Alokasi Dana Desa (ADD) sebagaimana diatur dalam Pasal 96 ayat (3) huruf a PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana UU No. 6 Tahun 2014. Padahal kita tahu ADD adalah dana transfer, yaitu dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dalam APBD setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus minimal 10 %(sepuluh seperseratus), sehingga cepat atau lambatnya pencairan ADD yang didalamnya ada komponen Siltap tergantung cepat lambatnya transfer dari pusat ke daerah.
Solusi permanen agar Siltap tidak tersendat seperti sekarang dan tergantung transfer pusat ke daerah adalah dengan mengeluarkan Siltap dari komponen ADD dengan merubah ketentuan Pasal 96 ayat (3) huruf a PP No. 43 tahun 2014 menjadi transfer khusus seperti gaji PNS.
Apakah bisa? Apakah paguyuban aparatur desa mampu? Lebih dari bisa dan lebih dari mampu. Jika bisa mengegolkan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, terakhir sukses dengan PP No. 11 Tahun 2019 tentang perubahan kedua PP No. 43 Tahun 2014, sehingga gaji Aparatur desa minimal setara PNS golongan IIa, mengapa tidak bisa mengajukan perubahan atas ketentuan soal Siltap.
Setali tiga uang dengan Siltap, soal BPJS Kesehatan yang terlambat pembayaran preminya, Pemkab Kendal jangan tergantung dana transfer atau dana bagi hasil pajak kabupaten, bisa menggunakan dana yang sah, yang bahasa sederhananya bisa slingkrah sligrung dengan dana lain agar nasib aparatur desa dan keluarganya tidak seperti sekarang ini.
Terakhir soal vaksin, paguyuban aparatur harus "berteriak" agar diperhatikan dan diprioritaskan mendapatkan vaksin COVID-19. Jangan seperti sekarang, untuk penangangan COVD-19 menjadi garda terdepan tapi soal vaksinasi menjadi garda terbelakang.
Pengurus paguyuban aparatur desa sudah saatnya bergerak, berteriak dan melaksanakan komunikasi dengan pemangku kepentingan agar nasib aparatur desa lebih baik.
Wallahu alam bi shawab.
Penulis : Sukron Adin (Sekdes Johorejo sejak Februari 2018).
*
Dipost : 08 Maret 2021 | Dilihat : 3666
Share :