Johorejo - Sejarah Halal Bi Halal

Sejarah Halal Bi Halal

Gambar repro Liputan6.com

KENDAL, Sabtu, 22 April 2023.

Perayaan Hari Raya Idul Fitri di Indonesia mempunyai ciri khas yang berbeda dengan negara-negara lain, khusunya yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Sebagian besar negara tersebut setelah melaksanakan Shalat Ied di pagi hari praktis tidak ada kegiatan lain, hal ini berbeda dengan tradisi di Indonesia di mana setelah Shalat Ied dilanjutkan dengan silaturahim/berkunjung/sowan ke orang tua, sanak saudara, kerabat dan handai taulan, tetangga dan sahabat-sahabatnya untuk bermaaf-maafan.

Belum cukup, tradisi bermaaf-maafan tidak hanya dilaksanakan dalam bentuk kunjung mengunjungi satu dengan lainnya, tetapi ada juga yang dikemas dalam bentuk pertemuan besar di satu tempat yang menghadirkan banyak fihak untuk bertemu dan bermaaf-maafan yang kita kenal dengan istilah halal bi halal.

Sejarah halal bI halal ada beberapa versi, sebagai sebuah istilah atau kata, kata halal bi halal sudah dikenal pada tahun 1935, yakni ketika pedagang martabak di Taman Sriwedari, Solo, saat mempromosikan martabaknya menyebutnya "Martabak Halal bin Halal, Halal bin Halal".

Hal tersebut dilakukan karena martabak saat itu adalah jenis makanan baru yang belum dikenal, sehingga pedagang martabak  (umumnya warga keturunan Hindi) dibantu penduduk lokal yang menjadi pegawainya mempromosikan dengan kata-kata sebagaimana disebut di atas, sehingga kata-kata martabak malabar halal bin hahal mulai populer sejak saat itu. 

Jadi, kata yang populer saat itu halal bin halal bukan halal bi halal.

Sebagai sebuah kegiatan, tradisi halal bi halal sudah dikenal sejak zaman Mangkunegara I, yaitu Pangeran Sambernyawa, Raja Mangkunegara I untuk menghemat waktu dan tenaga dalam menjalankan tradisi bermaaf-maafan saat lebaran, mengadakan kegiatan di istana kerajaan dengan mengundang seluruh punggawa dan prajurit kerajaan untuk saling bermaaf-maafan.

Adapun versi lain yang valid yaitu pada tahun 1948, saat Republik ini masih sangat muda, integrasi di dalam negeri belum benar-benar bagus, tetapi konflik antar pimpinan partai politik justru sangat meruncing. Kondisi tersebut memunculkan keprihatinan dari Presiden Soekarno, kemudian beliau berkonsultasi kepada Ulama Nahdlatul Ulama kala itu, K.H. Abdul Wahab Hasbullah untuk mencari jalan keluar dari situasi saat itu.

Oleh K.H. Abdul Wahab Hasbullah, disarankan untuk mempertemukan para pimpinan partai politik tersebut disatu meja saat perayaan Hari Idul Fitri untuk saling bermaaf-maafan dan saling halal menghalalkan atas dosa antar mereka, kemudian pada Hari Raya Idul Fitri tahun itu juga dilaksanakan kegiatan tersebut yang diberi nama halal bI halal. 

Hingga sekarang tradisi halal bi halal sebagai tradisi genuine dari lndonesia masih terus dilestarikan oleh masyarakat Indonesia. (SA)

Disarikan dari berbagai sumber.


Dipost : 22 April 2023 | Dilihat : 3180

Share :