KENDAL, Senin, 17 Juni 2024.
Berbicara tentang Perangkat Desa mungkin dibenak kita ada berbicara sosok aparat pemerintah pada umumnya, berangkat pagi pulang sore, dibalut seragam sesuai ketentuan harinya lengkap dengan kaos kaki dan sepatu formal ditambah pernik-pernik simbol aparat negara, dari pin ASN, nametag, logo Kabupaten dan sejenisnya, ditambah saat apel atau upacara harus memakai topi muts sebagai kelengkapannya.
Itu dari sisi atributnya, di sisi lain, perangkat desa dipersepsikan sebagai aparat yang datang, duduk, ngobrol, ngopi, ngrumpi di kantor dan saat-saat tertentu ke rumah-rumah warga menagih pajak PBB masyarakat, lengkap dengan sumpah serapahnya jika warga yang ditemui enggan membayar atau janji membayar di kemudian hari.
Tapi itu dulu, dengan tuntutan regulasi yang ada dan birokrasi yang bergerak modern, pelayanan publik di Desa oleh aparat desa sudah harus menyesuaikan, meninggalkan cara lama dan menanggalkan pola manual, semuanya sekarang telah menggunakan teknologi informasi. Tidak salah, jika ada beberapa desa yang mulai gelagapan karena aparat yang dimilikinya tidak banyak yang menguasai IT.
Lihat saja sekarang, untuk pengelolaan keuangan, di Desa harus menggunakan Sistem Keuangan Desa (Siskuedes), untuk pengadaan barang.dan jaaa ada Simpedes (Sistem Pengadaan Barang dan Jasa Desa) dan semuanya harus menggunakan Transaksi Non Tunai (TNT) melalui aplikasi CMS (Cash Manajement System).
Beberapa Desa atau sebagian besar sekarang telah memberikan pelayanan administrasi kependudukan (kecuali) E-KTP melalui Pak Kades Mantab sehingga bisa cetak KK, Akte di Desa lengkap dengan Sistem Informasi Desa (SID) nya sehingga warga dapat memiliki akses secara online untuk mengurusnya secara mandiri.
Perangkat Desa juga dibebani membuat laporan di Sistem Pencatatan Aset Desa (SiPADES), melaporkan perkembangan desa dan kelurahan di Prodeskel dan evaluasi perkembangannya melalui Epedeskel. Itu belum termasuk pemutakhiran SDGs Desa milik Kemendes.dan pelaporan data kesehatan di Rumah DataKu BKKBN pusat.
Itu belum cukup, tata persuratan di Desa harus menggunakan aplikasi Srikandi yang sudah dilaksanakan secara nasional dan menyeluruh di instansi Pemerintah.
Tahapan Pemerintahan Desa yang dilaksanakan secara offline tetap harus dilaksanakan sesuai regulasi yang ada lengkap dengan dokumen-dokumennya. Misal di tahap perencanaan, harus ada dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDesa) dan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDesa).
Perencaan di atas di breakdown dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (RAPBDesa) kemudian disetujui bersama BPD menjadi APBDesa.
Saat APBDes dilaksanakan, Pemerintah Desa harus membuat Surat Pertanggungjawaban sebagai data dukung kegiatan, yang diakhir tahun anggaran dipertanggungjawabkan melalui Perdes Pertanggungjawaban yang disahkan bersama BPD. Kemudian harus dilaporkan kepada Bupati maksimal 3 bulan setelah tahun anggaran selesai dengan dokumen LPPD (Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Desa), diberikan ke BPD berupa dokumen LKPPD (Laporan Keterangan Penyelenggaraan Pemerintah Desa) dan diumumkan secara massif ke masyarakat dengan IPPD (Informasi Penyelenggaraan Pemerintah Desa).
Jadi, apakah masih berfikir Pemerintah Desa khususnya Perangkat Desa adalah sosok yang ongkang-ongkang santai atau bagaimana? Silahkan nilai sendiri. (SA).
Dipost : 17 Juni 2024 | Dilihat : 285
Share :