Johorejo - Vaksin COVID-19, Aparatur Desa, Ideologi dan Sanksi

Vaksin COVID-19, Aparatur Desa, Ideologi dan Sanksi

JOHOREJO - Minggu, (28/3/2021).

Sabtu kemarin (27/3), apratur desa (Kades dan Perangkat Desa) di Kabupaten Kendal mendapatkan vaksin COVID-19 yang kedua, setelah yang pertama pada (13/3).

Hal ini sungguh melegakan karena aparatur desa sebagai pelayan publik mendapat prioritas vaksinasi COVID-19 oleh Pemkab Kendal, sebagaimana pelayan publik lainnya, sehingga pada gilirannya memberikan kenyaman bagi aparatur desa dalam melayani warganya.

Tetapi penerapan protokol kesehatan dengan 5 M (memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan dengan sabun, menghindari kerumunan, mengurangi mobilitas) harus tetap dijalankan, karena vaksin COVID-19 baru bisa memberi kekebalan atau imunitas setelah 28 hari menerima vaksin kedua.

Baca Juga : KAMI SUDAH DIVAKSIN!

Jangan salah juga, baru sedikit di Indonesia yang mendapatkan vaksin, padahal kekebalan kelompok (herd immunity) baru akan tercapai jika yang divaksin minimal mencapai 70% dari populasi, karena COVID-19 adalah Pandemi yang tidak akan pernah hilang dari muka bumi. Dengan kekebalan tubuh yang dimiliki manusia terlebih kekebalan kelompok, virus COVID-19 yang menempel atau menyerang tidak memilik efek.

Dari pelaksanaan vaksinasi COVID-19 kepada aparatur desa kemarin terselip cerita, ada sebagian dari aparatur desa belum divaksin karena berhalangan, sakit serta tidak lolos screening, tetapi yang memprihatinkan sebagian lagi belum divaksin karena menolaknya.

Apapun alasannya, penolakan terhadap pemberian vaksin COVID-19 memberikan kesan kurang baik bagi aparatur desa, bagaimanapun seorang pelayan publik harus lebih dahulu sehat sehingga bisa memberi pelayanan yang maksimal kepada warganya, kalau mereka menolak diberi vaksin COVID-19, akan rentan tertular dan menulari orang lain terutama saat memberi pelayanan.

Dari berbagai informasi yang saya dapatkan, ada yang menolak divaksin karena alasan sepele, takut jarum suntik dan takut efek samping vaksin COVID-19, tetapi yang mengejutkan ada yang menolak vaksin karena faktor ideologis, mereka menolak divaksin karena menganggapnya tidak sesuai dengan pemahaman agama yang dia pahami -ingat MUI sudah mengeluarkan fatwa vaksin astrazeneca halalan thoyiban.

Baca Juga : VAKSIN COVID-19 UNTUK SIAPA

Setengah mati kita bersama memperjuangkan jatah vaksinasi COVID-19 ditahap awal --sampai harus "menanggalkan" etika sebagai aparatur desa yang seharusnya sam'an wathaatan kepada Pemkab dan Camat, maka sangat disayangkan jika ada sebagian kecil yang menolaknya karena faktor ketakutan yang tidak mendasar serta alasan ideologis.

Pemerintah Kabupaten dan Kecamatan sebagai pembina langsung harus memberi pembinaan kepada aparatur desa yang menolak divaksin, karena jika dibiarkan akan merembet pada kesuksesan vaksinasi secara keseluruhan. Bahasa sederhananya, jika aparatur desa dengan seenaknya menolak vaksin, tidak ada teguran, pembinaan atau sanksi apapun, maka masyarakat nanti dengan mudahnya juga akan menolak vaksin COVID-19.

Sanksi Bagi Yang Menolak Vaksin 

Dikutip dari Kompas.com, wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Edward Hiariej menyatakan, masyarakat yang menolak vaksin dapat dijatuhi pidana paling lama 1 tahun penjara.

Karena vaksinasi COVID-19 adalah bagian dari kewajiban seluruh warga negara untuk mewujudkan kesehatan masyarakat.

Ketentuan pidana bagi penolak vaksinasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pasal 93 menyebutkan, "Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dan/atau menghalangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sehingga menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat bisa dipidana dengan penjara paling lama satu tahun dan/atau denda maksimal 100 juta.

Memang tidak serta merta sanksi langsung diberikan kepada aparatur desa penolak vaksin, perlu ada tahapan pendekatan, pembinaan dan teguran yang harus dberikan sehingga nantinya mereka bersedia menerima vaksin COVID-19.

Lain lagi ceritanya jika penolakan vaksinasi karena persoalan ideologis yang berarti pembangkangan terhadap kebijakan pemerintah.

Aparatur desa membangkang kebijakan pemerintah itu yang tidak bisa ditoleransi, dan sanksi yang tegas adalah jalan keluarnya, sekaligus pintu masuk bagi Pemerintah yang akhir-akhir ini sedang gencar menghabisi ideologi radikal di NKRI.

Selamatkan program vaksinasi COVID-19 untuk kesehatan masyarakat sekaligus habisi ideologi radikal yang masih bergentayangan. Mengapa tidak?

Wallahu alam bi shawab.

Penulis : Sukron Adin, Sekdes Johorejo, Gemuh, Kendal.


Dipost : 28 Maret 2021 | Dilihat : 1756

Share :