gambar dok ATR/BPN
KENDAL, Sabtu, 9 April 2022.
Presiden Joko Widodo pada 26 Agustus 2019 mengumumkan rencana perpindahan ibu kota negara ke wilayah administrasi Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara.
Secara de jure keputusan perpindahan ibu kota negara ditetapkan dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara.
Seperti biasa, walaupun payung hukum sudah ditetapkan, setiap keputusan di negeri ini akan selalu diiringi pro dan kontra. Yang kontra perpindahan ibu kota negara berargumentasi perpindahan ibu kota negara akan menelan banyak biaya, duitnya dari mana? akan merusak ekosistem dan lingkungan, rawan bencana, tidak strategis sampai dengan daerah itu masih sepi dan dikatakan "tempat Jin buang anak".
Bagi yang pro pemindahan ibu kota negara, pemindahan ibu kota ke luar Jawa adalah pintu untuk pemerataan pembangunan yang selama ini terkonsentrasi di Jawa khususnya di Jakarta.
Tidakkah ada empati untuk membangun kemakmuran merata ke seluruh Indonesia? Begitu kira-kira argumen para pendukung pemindahan ibu kota negara.
Sejarah Perpindahan Ibu Kota Negara
Dalam sejarah, ibu kota negara setidaknya pernah berpindah dua kali, yang pertama tahun 1946-1949 ketika ibu kota negara dipindah dari Jakarta ke Yogyakarta karena pertimbangan adanya agresi militer Belanda.
Kemudian pada tahun 1949, Menteri Kemakmuran, Sjafrudin Prawiranegara, diberi mandat Presiden Sukarno untuk membentuk pemerintahan darurat di Bukittinggi, Sumatera Barat karena pertimbangan kegentiangan situasi negara.
Dua perpindahan ibu kota negara di atas memang didasarkan pada situasi kegentingan yang tidak memungkinkan Jakarta menjadi ibu kota negara, Pertanyaannya, jika tidak genting seperti jaman perjuangan revolusi fisik dahulu kala, mengapa ibu kota negara harus dipindah?
Setidaknya ada enam alasan mengapa ibu kota negara harus dipindah dari Jakarta :
1. Penduduk Jawa sangat padat
2. Kontribusi ekonomi di Pulau Jawa terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia atau Produk Domestik Bruto (PDB) sangat mendominasi, sementara pulau lain jauh tertinggal, sekaligus menghapus "Jawa Sentris"
3. Krisis air bersih
4. Konvensi lahan terbesar di pulau Jawa, lahan terbangun di Pulau Jawa 43,79%, sementara di Kalimantan baru 9,2%
5. Pertumbuhan urbanisasi sangat tinggi
6. Ancaman banjir, gempa bumi dan tanah turun di Jakarta sebesar 50%, wilayah Jakarta mempunyai tingkat banjir 10 tahun, idealnya kota besar mempunyai tingkat banjir 50 tahun.
Perpindahan ibu kota negara tidak perlu ditakutkan, toh sebelumnya Presiden-presiden Indonesia pernah mewacanakan perpindahan ibu kota negara, hanya Presiden Joko Widodo yang berani mengeksekusi wacana tersebut.
Tidak jauh beda dengan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, dahulu juga memicu pro dan kontra. Apa Desa mampu mengelola uang? Apa SDM di desa mencukupi? Dan seabrek pertanyaan minor lainnya. Itulah kita, jika tidak pernah berani keluar dari zona nyaman dan berani merealisasikan mimpi, maka mimpi akan menjadi mimpi terus.
Pro kontra itu soal biasa karena semuanya pasti dibalut kepentingan, cuma yang kita pilih seharusnya adalah kepentingan yang lebih luas. (SA).
Dipost : 09 April 2022 | Dilihat : 10381
Share :