KENDAL, Kamis, 10 Februari 2022.
Pagi tadi saya menerima surat undangan Musrenbangcam dari Pak Anton Munajat, Kasi PMD Kecamatan Gemuh yang menyempatkan mampir ke Balai Desa Johorejo sebelum menghadiri peresmian gedung baru Puskesmas Gemuh II di Desa Tlahab.
Sekilas tidak ada hal baru yang mencuri perhatian saya dari kehadiran Pak Anton atau surat yang diberikan beliau, ya... undangan Musrenbangcam pada Senin, 14 Februari 2022 di Aula Kecamatan Gemuh jam 09.00 WiB sampai dengan selesai.... sudah. Itupun adalah tahapan setelah Musrenbangdes di seluruh Desa di Kecamatan Gemuh.
Menjadi menarik ketika saya mulai membaca satu persatu daftar undangan, pandangan saya terhenti ke daftar undangan nomor 5, Ketua Tim Penggerak PKK Desa se Kecamatan Gemuh. Batin saya cuma bergumam, "PKK lagi, PKK lagi, mengapa setiap undangan apapun pasti mengundang PKK?", tetapi setelah itu pikiran saya justru berfikir keras, karena pasti ada alasan kuat dibalik kebijakan bahwa musyawarah pembangunan di Desa maupun tingkat di atasnya harus melibatkan perempuan/PKK.
Saya mencoba untuk searching atau Googling guna menemukan jawaban, saya menemukan tulisan bahwa sejak tahun 2000 pemerintah mengeluarkan Inpres No 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) di segala bidang pembangunan yang berisi, “menginstruksikan kepada semua pejabat termasuk Gubernur, Bupati, Walikota untuk melaksanakan PUG guna terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan pengevaluasian PUG atas kebijakan dan program pembangunan responsif gender sesuai tugas pokok, fungsi dan kewenangan masing-masing”.
Memori saya menuntun pada pengalaman dulu ketika menjadi Ketua TPK PNPM di Desa atau Pendamping Lokal PNPM Kecamatan Gemuh yang mewajibkan setiap kegiatan perencanaan pembangunan, peserta rapat dan yang bertanda tangan di setiap Berita Acara minimal 30% perempuan. Nalar fikir saya kala itu belum secara kritis mencari jawaban mengapa harus seperti itu, pikir saya paling-paling untuk mencukupi kebutuhan kampanye kesetaraan gender yang waktu ramai dibahas pada talkshow-talkshow televisi.
Dulu ketika menjadi penyelenggara Pemilu saya juga menemukan ketentuan di UU yang mengharuskan Calon Anggota legislatif minimal 30% perempuan, tapi itupun bersifat afirmatif dan hanya berlaku dalam pencalonan, soal keterpilihan tidak ada aturan afirmasi 30% karena akan bertentangan dengan ketentuan bahwa yang terpilih menjadi anggota legislatif adalah berdasarkan suara terbanyak.
Kembali ke persoalan perempuan atau PKK tersebut, memang suara perempuan harus diakomodasi dalam perencanaan pembangunan bukan sekedar untuk mencukupi regulasi seperti yang tersebut di atas apalagi sekedar latah untuk mendukung kampanye kesetaraan gender.
Kepentingan perempuan sebagai subjek pembangunan sangatlah penting perannya. Pembangunan yang terkadang sangat eksploitatif dan "maskulin" menyebabkan kepentingan perempuan terpinggirkan. Contoh pembangunan di Desa, seberapa besar anggaran yang pro perempuan? semisal anggaran untuk PKK, masih kecil.
Jadi, mengundang PKK dalam Musrenbang adalah keniscayaan untuk memberikan porsi keterlibatan perempuan dalam proses perencanaan maupun pelaksanaan pembangunan secara adil.
Keperpihakan kepada perempuan wujud nyatanya bukan sekedar mengundang musrenbang saja tetapi ada kegiatan pembangunan dan anggaran yang pro perempuan. Saatnya perempuan bersuara. Semoga.
SUKRON ADIN. PENULIS ADALAH SEKRETARIS DESA JOHOREJO, KECAMATAN GEMUH SEJAK TAHUN 2018.
Dipost : 10 Februari 2022 | Dilihat : 1356
Share :