JOHOREJO - Sabtu, (3-4-2021)
Satu per satu bantuan pemerintah untuk mengatasi dampak ekonomi akibat Pandemi COVID-19 mulai dihentikan, paling awal JPS Provinsi, disusul BLT subsidi gaji bagi karyawan, santunan kematian akibat COVID-19, terakhir BST atau Bantuan Sosial Tunai, bahkan Kartu Pra Kerja diputuskan dihentikannya di gelombang ke-16.
Bukan tanpa alasan, pemerintah menghentikan berbagai macam bantuan tersebut, pertama masyarakat dianggap sudah bisa menjalankan aktifitas ekonomi seperti biasanya sehingga kondisi ekonomi sudah mulai bergerak. Kedua, pemerintah mulai fokus pada vaksinasi (gratis), sehingga anggaran negara diarahkan untuk pengadaan vaksin. Ketiga, pemberian bantuan diubah skemanya dari bentuk tunai menjadi program padat karya dan pemberian modal kerja. Terakhir alasan utamanya, keuangan negara tentunya sangat terbatas untuk terus-terusan memberi bantuan tunai.
Baca Juga : Bantuan Sosial Tunai Dihentikan
Walaupun demikian pemerintah masih mempertahankan bantuan-bantuan sosial bagi keluarga miskin, yang sudah ada sebelum Pandemi COVID-19 seperti halnya PKH, Bantuan Pangan Non Tunai, Bantuan perumahan keluarga miskin dan lain sebagainya.
Repro : Antarafoto.com
Satu lagi bantuan sosial yang masih tersisa adalah Bantuan Langsung Tunai yang bersumber dari Dana Desa (BLT-DD) atau dalam bahasa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) disebut BLT Desa.
BLT Desa di tahun 2020 diberikan selama 9 bulan walaupun pada awalnya hanya direncanakan 3 bulan, sedangkan di tahun 2021 diberikan selama 12 bulan berdasarkan ketentuan yang di atur dalam Pasal 39 ayat (7) PMK No. 222/PMK.07/2020 yang berbunyi 'Pembayaran BLT Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilaksanakan selama 12 (dua belas) bulan mulai bulan Januari."
Dengan dasar di atas, Desa mau tidak mau harus menjalankan aturan tersebut selama 12 bulan, yakni menyalurkan BLT Desa sebesar Rp. 300 ribu setiap bulan kepada Keluarga Penerima Manfaat (KPM), terkecuali tidak ada yang memenuhi kriteria mendapatkan BLT Desa di Desa setempat.
Baca Juga : LAGI BANTUAN UNTUK COVID-19 DI STOP
Mempertimbangkan aspek sosiologis, BLT Desa bisa diwacanakan untuk dihentikan, karena melihat bantuan sejenis juga dihentikan oleh pemerintah. Penerima bantuan sosial tunai (BST) dengan penerima BLT Desa (BLT DD) sejatinya beririsan dari sisi ekonominya (sama-sama keluarga miskin).
Dampak sosial jika BLT Desa masih diteruskan adalah kecemburuan sosial, bagaimana tidak, dalam satu lingkungan sosial ada beberapa keluarga miskin yang sama-sama mendapatkan BLT, sebagian tetap lanjut sebagian dihentikan. Mereka pasti marah dan tidak akan mendengarkan argumentasi soal sumber anggaran, BST dari Pemerintah Pusat, BLT Desa bersumber dari Dana Desa.
Belum lagi konflik antara warga dengan Aparat Pemerintah Desa. Warga yang marah bantuannya terhenti akan melampiaskannya kepada aparat Pemdes. Sudah menjadi rahasia umum, sejak ramainya bantuan sosial dari Pemerintah, aparat Pemdes sering menjadi sasaran umpatan dan caci maki warga yang tidak menerima bantuan.
Repro : Antarafoto.com
Soal BLT Desa, menarik untuk mengkaji pernyataan Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, jika benar penerima BLT Desa 88% adalah petani, nelayan dan buruh nelayan 4%, buruh pabrik 2%, guru 1%, pedagang dan UMKM 5%, muncul pertanyaan apakah benar Petani yang paling terdampak Pandemi COVID-19?
Petani masih bisa ke sawah, petani juga masih bisa berusaha atau bekerja dengan menggarap sawahnya. Bandingkan dengan butuh pabrik yang di PHK karena pabriknya ditutup atau Sopir yang berhenti bekerja karena usaha transportasi sepi.
Dari perspektif di atas, yang utama dibutuhkan petani tampaknya bukan BLT Desa Rp.300 ribu/bulan tetapi justru proteksi terhadap harga komoditas hasil pertaniannya, seperti padi, jagung, bawang merah dan tembakau serta ketersediaan pupuk.
Jadi, BLT Desa (BLT DD) layak dipertimbangkan Pemerintah untuk dihentikan demi mengurangi kecemburuan dan konflik sosial. (SA).
Dipost : 03 April 2021 | Dilihat : 2277
Share :